Iran berevolusi menjadi Negara Syiah pada tahun 1979 dalam
pimpinan seorang Imam Syiah, Ayatullah Khomeini. Sebagian besar rakyatnya
menganut agama Syiah yang terbagi menjadi banyak aliran. Syiah di Iran sangat
tertutup dalam pemberitaan ke luar, terutama mengenai keadaan Sunni di Iran. Penduduk bermazhab
Sunni mencapai 10 persen dari total rakyat Iran sebanyak 70 juta orang.
Apakah mereka dalam keadaan baik-baik saja? Atau diskriminasi
dan perihal ketidakadilan yang tengah mereka alami?
Muslim Sunni dalam pemerintahan Syiah
Penduduk Sunni Iran didominasi mazhab Syafii dan Hanafi.
Mereka terpusat di Propinsi Baluchistan (berbatasan dengan Afghanistan yang
mayoritasnya adalah Sunni). Mereka tinggal dalam kemiskinan, tidak ada pihak yang
berani melakukan investasi. Salah satunya disebabkan karena ketidaknyamanan
yang dilakukan oleh Abdurrahman Rigli, pemimpin kelompok teroris Jundullah yang
tewas beberapa waktu lalu. Namun pihak pemerintah Iran mengklaim telah
melakukan usaha perbaikan wilayah dalam kunjungan kerja beberapa pejabatnya
ketika itu, termasuk Presiden sendiri.
Kaum Sunni Iran hidup di pinggiran
dan perbatasan. Sementara kaum Syiah, Kristen dan Yahudi menghuni kawasan
kota-kota besar di Iran. Beberapa orang calon Presiden seperti Karroubi
–sebelum pemilu- berjanji akan merevisi semua konstitusi Iran yang telah
bertahun-tahun dilaksanakan, diantaranya melindungi kaum Sunni. Menurut Karoubi, kaum Sunni di Iran tak lebih
berharga daripada orang asing di Negara itu sendiri. Dan Mousavi- jika
terpilih- juga berjanji akan membangun masjid pertama bagi kaum Sunni, yang
saat sekarang ini mereka masih melakukan sholat Jumat di Kedutaan Besar asing.
Muslim Sunni Iran memilih menjadi golongan
putih alias abstain dari pemilu setiap kali pemilu Iran dilaksanakan. Barulah
pada tahun 1997, para pemilih Sunni tiba-tiba mucul ke permukaan mendukung
Khatami, dan menjadi fenomena tersendiri ketika itu. Di zaman Khatami yang
cukup liberal, kaum Sunni bisa membentuk radio dan surat kabar sendiri. Kaum
sunni juga mulai bisa menyekolahkan anak-anaknya di Universitas Iran bermazhab
Syiah tersebut. Bisa ditebak tujuannya apa.
Tahun 2005, dalam pemilu Iran,
Mustafa Moein -yang bertarung dengan Hashemi Rafsanjani, Mehdi Karroubi dan
Ahmadinejad- berjanji akan menempatkan seorang menteri dari kaum Sunni dalam
pemerintahannya. Namun seperti yang telah terjadi, bahwa Ahmadi Nejad yang
terpilih, seorang presiden Syiah yang digambarkan sangat sederhana. Mendapat
sambutan luar biasa dari dunia internasional karena keberaniannya dalam
menentang AS dan Israel, namun anehnya sampai saat ini, Iran- yang tak lebih
besar daripada Iraq yang sudah digempur
habis-habisan oleh AS dan sekutu, masih baik-baik saja. Dalam artian, AS tidak
pernah melakukan suatu tindakan yang nyata terhadap Iran.
Dalam dunia perpolitikan, Muslim
Sunni berpartisipasi dengan perwakilan
20 anggota parlemen Iran (Majlis Khubregan) berasal dari Sunni, sebuah lembaga
yang memiliki kewenangan mengangkat para
Menteri Kabinet ada anggotanya yang berasal dari Sunni, anggota kabinet Iran
juga ada yang berasal dari Sunni. Namun hal ini tidak ada artinya ketika
ketetapan pemerintahan masih absolut di bawah pimpinan Imam Al-khamenei yang
pro Syiah.
Sunni dan Yahudi, mana yang lebih dilindungi?
Channel TV National Geoghrapich dalam saluran Nat Geo Adventure,
menayangkan sebuah acara “Don’t Tell My Mother that I’m In Iran” yang dibawakan
oleh Diago Bunuel Sabtu, 7 Januari 2012. Dalam acara tersebut diperlihatkan
betapa tolerannya Iran terhadap bangsa Yahudi yang tinggal di Iran,
sampai-sampai Yahudi punya perwakilan suara di Parlemen Iran- yang merupakan
Republik Islam tersebut-. Diego juga menguak fakta bahwa komunitas Yahudi
yang ada di Iran terbesar di seluruh kawasan Arab (kecuali di negara Israel), yang
ternyata tidak mendapatkan diskriminasi atau tekanan dari pemerintah maupun
masyarakat. Dibuktikan dengan wawancara yang dilakukan Diego kepada seorang
warga Yahudi Iran. Diperlihatkan pula
saat narasumber tersebut menyuguhi Diego dengan sebotol wisky. Dia berkata
Yahudi boleh minum alkohol tapi Muslim tidak boleh. Dia (narasumber) juga
berkata pada awal revolusi Islam memang hidup Yahudi terasa berat di Iran
tetapi sekarang hidup berdampingan tidak masalah. Dengan banyaknya komunitas Yahudi
maka di jantung pusat kota Teheran sendiri terdapat 25 bangunan Sinagog (tempat
peribadatan Yahudi).
Bandingkan dengan Muslim Sunni
yang dikabarkan harus menumpang ke Kedutaan Besar Negara lain, hanya untuk sekedar
Shalat Jum’at berjama’ah!
Upaya Syiah menutup rapat keadaan Sunni di Iran
Majelis Ulama Indonesia pernah menggelar Temu Tokoh Islam
dengan Grand Imam Sunni dari Iran yang menghadirkan sejumlah ulama dan tokoh
Indonesia seperti Prof. Ahmad
Satori Ismail, KH. Teuku Zulkarnaen, KH.
Hamdan Rasyid, KH. Syaifuddin Amsir, dll. Dan dari kelompok Syiah seperti Umar
Shihab (saudara DR. Quray Shihab).
Menurut Grand Imam Sunni Iran, Syekh Maulana Mauli Madani bahwa kondisi
Sunni di Iran baik-baik saja. “Kondisi
Ahlus Sunnah baik-baik saja, tidak mengalami penindasan,” terangnya di hadapan
para ulama. Ia menjelaskan bahwa memang ada perbedaan yang esensial diantara
Sunni dan Syiah, tetapi masih dalam ranah kesatuan Tauhid.
Syekh Maulana adalah penasehat Ahmadi Nejad dalam urusan
Sunni-Syiah di Iran. Syekh Maulana
terkooptasi oleh pemerintah dan belum independen, karena beliau datang atas
rekomendasi dari pemerintah Syiah Iran.
Kemungkinan besar kedatangan Imam tersebut di MUI sebagai pendekatan agar fatwa sesat terhadap Syiah batal dikeluarkan
MUI pusat, sementara Duta Besar Iran Mahmoud Farazandeh juga sangat mendukung program Syiah-nisasi.
Mengenai adanya caci maki terhadap sahabat Rasul Muhammad
saw, ulama besar Sunni Iran itu mengakuinya, namun hanya dilakukan oleh
segelintir pengikut Syiah ekstrim dan itu bukan dalam rangka kelembagaan Syiah
Imamiyah di Iran. “Bapak Revolusi Islam Iran, Imam Khomeini dengan tegas telah menyerukan kepada seluruh
umat Islam di dunia bahwa setiap orang apapun mazhabnya diharamkan mencaci-maki
para sahabat Nabi Muhammad SAW,” ujarnya. (kutip : Eramuslim.com dan
Arrahmah.com)
Dan hal ini sangat bertentangan dengan kenyataan di lapangan
yang sangat menyinggung umat Sunni dunia. Bahkan Syaikh ‘Alamah Yusuf
Al-Qardhawi sendiri pernah mengadakan pertemuan damai dengan Syiah karena
celaan “la’natullah ‘alaihim” yang selalu mereka ucapkan setelah menyebut nama
para sahabat Rasulullah saw. Namun usaha ini gagal, karena tidak adanya
kesepahaman dalam kronologi sejarah sejak dari semula.
Yang paling penting dan menjadi persoalan bagi Ahlus Sunnah
adalah Syiah belum menghentikan pelaknatan terhadap para sahabat -radhiyallahu
‘anhum- dan ummul mukminin Aisyah -radhiyallahu ‘anha-, ini menohok batin
setiap Sunni. Dan sampai hari ini baik di buku-buku bahasa Arab di Iran
termasuk di Indonesia masih berisi laknat dan cacian terhadap “Rijal Haula
Rasul” tersebut (*). Wallahu a’lamu bisshawab.
*disarikan dari berbagai sumber.
Diterbitkan dalam Buletin MITRA KMM Mesir 2012.
0 komentar:
Posting Komentar