Umurku baru 24 tahun, teman-teman di Indonesia yang sepantaran denganku sudah ada yang bekerja sebagai PNS, pegawai swasta seperti di Bank, menjadi Dosen, Guru, Perawat, bahkan teman sekelasku waktu SD dulu ada yang sudah menjadi Pramugari. Aku?
Saat ini Allah menakdirkan untuk masih berjalan di jalan-Nya, untuk tetap bisa mengukir cadangan amal, dengan tetap menjadi seorang penuntut ilmu, seorang Mahasiswa Universitas di Al-Azhar, hingga ke detik ini aku masih mengikuti ujian layaknya mahasiswa S1 biasa lainnya, belum lulus sama sekali. Bukan mengumpat, namun itulah takdir. Sehebat apapun seseorang, sekuat apapun keinginan, sepintar apapun otak, dan sebanyak apapun usaha yang dilakukan, kalau Allah berkata belum, ya belum, tidak sekarang ya tidak sekarang.
Sama halnya seperti ketika aku dahulu tamat dari MAKN Koto Baru tepat berumur 18 tahun. Masuk TK umur 6 tahun, SD 7 tahun, MTs umur 12 tahun, MAKN umur 15 tahun. Allah menakdirkan semuanya berjalan dengan mulus dan lancar tanpa harus ada pengulangan-pengulangan. Dan aku sangat terobsesi cepat-cepat bekerja dan berkhidmat. Namun ketika tamat MAKN, aku diuji dan dicoba. Allah menguji dengan berbagai musibah lahir dan batin yang menguras tenaga dan pikiran. Akhirnya aku terdampar di LIPIA Jakarta (cabang Universitas Muhammad Ibnu Suud Riyadh) selama satu tahun. Merasa kurang cocok, aku berencana terbang ke Mesir dan akhirnya sampai juga setelah visa kami (aku dan teman-teman satu marhalah Mustajid*teman satu angkatan*) tertahan di Kedubes Mesir Jakarta selama satu tahun. Akhirnya tepat tgl 4 Mei pesawat kami pun berhasil lepas landas menuju Kairo. Empat tahun aku jalani dengan pahit dan manisnya (pahit didahulukan, karena memang banyakan pahitnya :D ).
Hingga hari ini, letika aku menuliskan cerita ini, tgl 28 Mei 2013, Alhamdulillah aku telah berhasil melalui 7 semester dengan selamat dan insha Allah kali ini adalah ujian terakhir di Universitas Al-Azhar, ujian semester 8 untuk menentukan apakah aku layak menjadi seorang Azhary, apakah aku pantas mendapat gelar License Sastra Arab tahun ini atau tidak?
Rabbuna Yassir wala Tu’assir, kalimat ini tidak lepas-lepas terucap agar Allah memudahkan jalan ku menuju kelulusan yang bisa dibilang cukup tua ini. Ujian semester yang tahun ini tepat jatuh tgl 25 Mei membuat kepala kami (saya dan teman-teman selokal) sedikit kewalahan dengan guliran waktu yang telalu cepat. Pasalnya bulan Ramadhan akan datang lebih awal. Hingga Kalender pendidikan Al-Azhar pun mempercepat beberapa hari jadwal ujian semester akhirnya.
Sepulang dari ujian Balaghoh yang menyisakan satu lembar saja kertas kosong di lembaran jawaban folio pagi itu, membuat kepala ku cukup pusing. Agaknya ini adalah jawaban terbanyak yang pernah aku tuliskan selama empat tahun kuliah di sini. Agak ngedumel dengan kondisi pagi menuju siang itu. Waktu yang diberikan selama tiga jam (mulai pukul 9.30) untuk menjawab soal-soal yang memutar logika itu tidaklah cukup. Entahlah dengan yang lain, sepertinya pun demikian. Pasalnya selama lebih dari 2/3 waktu yang diberikan belum ada satupun yang keluar ruang ujian. Ditambah lagi kebagian pengawas yang tidak sangat toleran, merokok di ruang ujian, hingga ngobrol dengan suara keras, dan membentak-bentak meminta lembar jawaban padahal waktu masih tersisa beberapa menit. Konsentrasi pecah, karena aku kewalahan menulis lembar sebanyak itu, (sampai saat ini aku belum pernah menghitung berapa jumlah kertas folio untuk menjawab soal yang berbentuk buku tipi situ) pasalnya sampai menit ke 90 aku masih berkutat dengan soal nomor satu. Tiga soal yang beranak pinak itu membuat tanganku pegal dan memaksa ku menguras otak.
Wajar saja, ketika sepulang dari ujian, aku langsung tidur atau sekedarnya melihat newsfeed baru di facebook. Namun sorenya tiba-tiba Ustadz “F” menghubungiku, tidak seperti biasanya. Oh, sudah kutebak. “besok datang ya Ustadz di KSW, jam 15.30-an lah, sekaligus ada penyerahan piagam juga dan kritik juga saran dari pengajar”, katanya.
Beliau adalah seorang pengurus, di LSM berinisial “SC” (sebut merek, bayar :D). SC ini adalah LSM mahasiswa Indoenesia di Mesir. SC adalah sebuah LSM yang membidangi kependidikan dalam lingkup Mahasiswa Melayu di Al-Azhar Mesir. Saat ini yang aku tahu, ST telah memegang beberapa Asrama Mahasiswa Malaysia (Johor dan Negeri Sembilan) sebagai pelanggan tetap untuk mengajarkan kursus cepat alias “bimbingan belajar” selama sebulan kurang lebih sebulan, sebelum ujian semester di Al-Azhar.
Nah, para dosen dan pengajarnya itu diambil dari mahasiswa Indonesia yang sudah S2, S3 ataupun terakreditasi (ditazkiyah *rekomendasi* oleh pihak terpercaya :D ). Walaupun masih S1 juga akan diambil, seperti halnya aku yang bisa dibilang Bermuda (bermuka sangat muda) ini :D. Apalagi jika fakultasnya adalah termasuk fakultas yang kurang diminati oleh mahasiswa asing, seperti Fakultas Bahasa Arab, Dirosat Islamiyah, dan Syari’ah wal Qonun. Pasalnya sangat jarang untuk menemukan sosok mahasiswa yang mau mengajar di tiga fakultas itu. Aku yang kebetulan di Fakultas Bahasa Arab ini, merasa beruntung bisa bergabung bersama rekan-rekan di SC. Tak ayal aku pun kaget ketika berkenalan dengan salah satu teman sesama pengajar di Rumah Johor Hay-Tamin. Katanya dia masih tingkat dua (lupa Tanya, tingkat 2-nya S1 apa S2 :D) dan mengajar mahasiswa Malaysia yang baru tingkat satu. Kudengar dari beberapa senior memang mahasiswa Indonesia “megang” prestasinya di Universitas Al-Azhar dibanding mahasiswa Melayu lainnya. Ada beberapa senior yang sedang S2 malah dipercaya menjadi guru private setiap semesternya oleh mahasiswa Brunei, dan dibayar sekian-sekian *wow*. Dalam hati rasa kagumku pada mahasiswa Indonesia semakin memuncak. Sebegitu keren-kah mahasiswa Indonesia di mata pelajar dan mahasiswa berkebangsaan Melayu (Indonesia-Malaysia-Brunei) di Al-Azhar?
Aku jadi ingat saat pertama kali dahulu…
Saat pertama aku mengajar, adalah ketika baru tamat dari MAKN. Saat itu aku diberi kesempatan untuk menggantikan kakak perempuanku mengajar di sebuah Sekolah Mengaji. Pengalaman sebelumnya adalah mengajar anak-anak SD di beberapa SD lokal di daerah Sumatera Barat dalam rangkaian acara Pesantren Kilat yang diadakan perkumpulan siswa MAKN se-kotamadya Bukittinggi dan kabupaten Agam (namanya AKRAB). Di sanalah aku belajar bagaimana menguasai audiens ( selain Ta’lim Idhofiy *tutor sebaya* yang sangat banyak manfaatnya di MAKN dulu) sementara di saat yang sama orang begitu banyaknya menatap mata kita sementara kita dituntut untuk menjelaskan sebuah permasalahan dan memecahkannya . Namun tentu saja ini semua sifatnya “volunteer”, jadi tidak ada “fee”. Pengalaman ini menjadi ilmu dasar ku dalam hal tarbiyah mentarbiyah, ta’lim menta’lim. Jadi saat aku mengajar di Sekolah Mengaji itu Alhamdulillah aku sudah tidak cangung lagi, bahkan katanya anak-anak yang nakal biasanya, malah menjadi patuh. Aku sangat senang bercampur bangga saat mengajar di Sekolah Mengaji itu, uang gaji pertamaku hanya Rp.150.000 kalau tidak salah. Namun sangat terasa berkahnya, apalagi ketika Almarhumah Ibuku memakai baju Long-Dress coklat yang aku belikan untuknya dengan uang gaji pertama seumur hidupku itu. Walau saat itu beliau sedang sakit-sakitan dan tidak lama kemudian beliau berpulang ke rahmatullah. Itu adalah ujian terberat sepanjang umurku. Namun dengan ujian tersebut, aku menjadi semakin kuat dan tegar, seperti sudah tidak asing lagi ketika aku ditimpa ujian yang lebih ringan. Walaupun katanya musibah itu adalah karena dosa yang kita lakukan sendiri, aku tetap berusaha berhusnudzon kepada Allah, bahwa Allah masih sayang kepadaku dengan memberiku teguran demi teguran.
Setelah menjadi guru ngaji itu, aku kemudian dipercaya lagi menjadi “kakak pembimbing” semenjak tingkat dua di AL-Azhar. Aku sudah lupa maddah (mata kuliah) apa yang aku ajarkan untuk pertama kalinya kepada adik-adik tingkat satu waktu itu. Kemudian berlanjut di tingkat tiga lagi-lagi senat mempercayaiku untuk memegang maddah tertentu hingga berlanjut ke tingkat empat di semester ke tujuh mereka mulai mempercayakan kepadaku untuk mentutor akhwat tingkat 1 Bahasa Arab. Ada beberapa maddah yang aku ingat, mulai ilmu ‘arudh- fannul maqol-qo’ah baths- nushus- dan ilmu aswat. Hingga akhirnya aku dipertemukan dengan SC, dan LSM yang satu ini mulai mengambil ku tahun ini sebagai guru pembimbing alias dosen-dosenan di lembaga mereka dan dipercaya memegang maddah Ilmu Aswat.
Dan kemudian aku duduk termangu saat ini di depan layar computer menanti esok hari yang (sebenarnya) telah lama kunanti. Katanya ada “fee” yang lumayan besar bisa dipakai untuk menombok sewa flat yang sudah nunggak satu bulan, ataupun untuk beli kitab idaman yang sudah lama aku catat coretannya di sebuah kertas. Alhamdulillah, rezeki memang tidak kemana. Tebakku, sepertinya ini adalah ganti dari Handphone yang dulu hilang dicopet di dalam bus, sepulang dari membimbing teman-teman akhwat di daerah Rob’ah tepat saat semester 7 yang lalu. Dan beberapa hari setelah kejadian itu, seorang teman sekelas mengajakku untuk gabung bersama SC, thanks to him also. Karena telah memperkenalkanku pada dunia mengajar yang “baru”.
Aku tahu bahwa Allah Maha Adil, dan Ia sangat sayang kepadaku. Hingga seburuk apapun takdir yang Ia berikan, masih saja ada hikmah yang aku bisa petik dan nikmati setelahnya. Terdampar di Al-Azhar kemudian “Belajar sambil mengajar” di Mesir, adalah hikmah besar dan pengalaman indah yang tak akan pernah terlupakan dalam sejarah hidupku selama di Al-Azhar
*Menuju 7 mata kuliah akhir insha Allah*
Hussein, Old Cairo, 28 Mei 2013
0 komentar:
Posting Komentar