Besaran nilai objektifitas dalam penerapan sebuah UU sangat berkaitan dengan stabilitas suhu politik dan volume kekuatan mazhab pro-rakyat yang ada di suatu negara yang menganut paham demokrasi. Sebuah UU boleh jadi dianggap proporsional bila diterima oleh masyarakat dan tidak mengandung unsur subjektif diskriminatif ataupun represif dalam poin-poin yang diangkat di dalamnya. Adanya pro dan kontra terhadap UU, menandakan bahwa sebuah negara memang tengah berjalan sistem demokrasinya. Karena memang pro dan kontra adalah nilai dominan yang keluar dari sebuah kebijakan. Kebijakan inilah yang berfungsi sebagai stimulan tersendiri terhadap aktifitas demokrasi yang tengah berlangsung. Bukan demokrasi namanya, jika tidak ada pro dan kontra.
Berbicara tentang hukum, UU Ormas yang digadang-gadang tengah digodok rancangan nya ini, ternyata telah melahirkan kecemasan tersendiri di tengah-tengah kebebasan berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Status DPR sebagai pihak penyelenggara demokrasi yang memiliki wewenang dominan dalam membuat UU, terancam kehilangan “sungut” setelah berhasil menimbulkan huru-hara internal antar berbagai lapisan masyarakat dalam menanggapi rancangan UU Ormas yang baru. Kecemasan akan implikasi negatif terhadap perkembangan status “demokrasi” di Indonesia, adalah alibi terkuat dalam gelombang penolakan masyarakat yang masih terjadi sampai saat ini.
Fenomena UU Ormas yang mengundang pro dan kontra sangat menarik untuk ditinjau dari berbagai kacamata yang berbeda. Setiapnya memiliki kepentingan masing-masing, karena tidak dapat dipungkiri setiap badan yang dibentuk oleh masyarakat, masing-masing memiliki fungsi internal yang berujung untuk mengangkat kepentingan(internal profit) terhadap organisasi itu sendiri. Ada semacam daya tarik-menarik keuntungan dalam lintas substansi kepentingan banyak pihak, yang tidak terlepas dari bisnis dan ekonomi yang ujung-ujungnya adalah uang ini. Berkaca pada yang sudah-sudah, tentunya kebebasan berdemokrasi tak akan lengkap tanpa dibumbui kecurangan demi kecurangan di dalamnya. Bahkan tidak menutup kemungkinan jika kelahiran sebuah produk demokrasi (seperti UU), disponsori kucuran dana fiktif, yang akhirnya mengaliri kantong wayang-wayang demokrasi di Indonesia.
Perihal adanya kecemasan oleh (dalam hal ini) pemerintah, terhadap penerapan ulang UU Organisasi Kemasyarakatan UU no 8 tahun 1985 hingga mempertahankan pembahasan UU Ormas, oleh sebagian besar masyarakat dianggap cenderung mengada-ada dan tidak relevan. Karena dengan ataupun tanpa UU Ormas ini, alasan untuk menekan tingkat pengrusakan terhadap fasilitas umum tidak dapat diterima. Kitab Undang-undang hukum pidana (KUHP) sendiri dirasa sudah cukup untuk menjerat pelaku tidak kejahatan yang dianggap menimbulkan permusuhan dan kebencian, tentunya di samping itu perlu juga peningkatan rasio penegak hukum terhadap jumlah dan sebaran masyarakat itu sendiri.
Mulai dari Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) hingga Muhammadiyah pun telah memberikan lampu merah kepada DPR agar segera menghentikan usaha perampasan terhadap kebebasan berkumpul dan membuat badan oleh masyarakat yang mereka tengah rangkum dalam UU ormas ini. Menurut mereka, UU ormas seharusnya sudah dicakup oleh UU Perkumpulan dan UU Yayasan. Bahkan representasi dari beberapa LSM yang bergerak di bidang hukum menginginkan agar UU ini segera dicabut, bukan malah direvisi. Namun DPR seolah tak bergeming. Kemendagri sebagai wakil pemerintah pusat pun ikut-ikutan memberikan support batin kepada DPR dengan melontarkan pertanyaan kepada masyarakat yang kontradiktif , “bagian mana yang ada di dalam pasal yang dianggap tidak relevan dan cenderung refresif?”.
Hal yang paling substansial adalah kelahiran UU ini juga mengandung ambiguisitas dalam pemahaman yang substansial terhadap kemungkinan pembubaran beberapa yayasan atau ormas yang dianggap telah berperan positif pada masyarakat selama ini. Dalam Pasal 18 Ayat (2) Huruf b UU 23/2011 disebutkan bahwa izin yang diberikan untuk membentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ) mengharuskan lembaga amil zakat terdaftar sebagai ormas dan berbentuk badan hukum. Sementara Pasal 11 RUU Ormas, mengkategorikan badan hukum yayasan dan perkumpulan sebagai ormas. Dalam hal ini, Pusat Study Hukum dan Kebijakan Indonesia menilai ketentuan di dalam rancangan Undang-Undang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang ormas, jika sudah menjadi UU sangat berpotensi membekukan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Dengan kata lain, LAZ harus diseret ke ranah politik dengan dibawahi dan diawasi oleh Direktorat Jenderal Kesbangpol Kemendagri. Bukan hanya LAZ, seluruh organisasi masyarakat yang selama ini bergerak di bidang pendidikan sosial (termasuk panti asuhan dan rumah sakit) dengan demikian terancam akan dibekukan sewaktu-waktu.
Perlu diketahui juga bahwa organisasi yang bergerak di bidang sosial sebenarnya hanya dua macam, yaitu Yayasan dan Perkumpulan Berbadan Hukum. Yayasan adalah organisasi tanpa anggota sebagaimana diatur dalam UU Yayasan. Sementara, Perkumpulan merupakan organisasi berdasarkan keanggotaan yang aturannya masih mengacu kepada aturan kolonial Belanda, Stb.1870-64. Dua aturan ini menurut mereka sudah lebih dari cukup untuk mengatur organisasi kemasyarakatan yang berada di Indonesia. Karenanya DPR seharusnya fokus menyelesaikan RUU Perkumpulan dalam rangka mengatur organsisasi yang berbasis keormasan, bukan malah sibuk dengan UU Ormas.
Lahirnya UU ini di zaman Orba, memang sebagai pengatur dan pengawas terhadap kebebasan masyarakat dalam berorganisasi di bawah pemerintahan yang represif. Hingga saat ini, wacana pembentukan UU baru ini pun masih terus mengundang pro dan kontra yang tiada habis oleh pelbagai macam lapisan masyarakat .
Bahkan berkembang nya isu mengenai sistematis penolakan terhadap UU ini tidak saja hadir dan dimotori oleh kalangan agamis. Dari liberal sendiri ternyata menolak mentah-mentah ide “kloningan UU Orba” dalam UU yang baru ini. Benar saja mereka menolak mentah-mentah, karena di dalam salah satu ayat di pasal baru itu tersebut nama beberapa kategori kelompok pemikiran yang termasuk di luar ideologi “Pancasila”. Diantaranya adalah Komunisme, Sekulerisme dan Liberalisme. Jadi tidak perlu heran jika LSM sosial berkedok HAM (baca : liberal), banyak yang menentang secara ekslusif di luar layar. Namun hal ini juga bukan berarti Liberal dan kalangan agamis tengah dijepit di posisi yang sama. Tidak perlu heran juga ketika UU ini menyeret banyak perhatian Muslimin, terutama para aktifis pergerakan Islam. Isu ketidakharmonisan antara pemikiran Islam dengan Pancasila memang sengaja diumbar di pentas media sebagai pancingan yang menarik opini publik. Bahkan sangat masuk akal jika gelombang penolakan besar-besaran dari aktifis Muslimin ini dimanfaatkan oleh pihak yang memang sudah jelas-jelas masuk kategori di luar ideologi “pancasila”. UU Ormas yang lahir di zaman Orba ini memang masih dipenuhi misteri “kepentingan siapakah sebenarnya?”. Kebenaran apa yang tengah dipilih oleh masyarakat, sangat begantung pada opini yang diketengahkan oleh media sebagai perambat.
Di sisi lain, balasan pemerintah terhadap opini negatif yang berkembang atas revisi UU Ormas warisan Orba ini di-counter langsung oleh Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin. Menurutnya pembahasan kembali UU ini adalah untuk mengatur pergerakan LSM asing yang dianggap terlalu bebas mengepakkan sayapnya dalam ranah enterpreneurship di Indonesia. Dengan dbentuknya UU Ormas yang baru ini diharapkan agar bisa menertibkan LSM nakal yang mengeruk keuntungan dalam ranah bisnis di Indonesia ke depannya.
Namun gaung pembelaan ini tidak terlalu berpengaruh terhadap arus kontradiktif yang semakin meruncing. Suara rakyat yang ingin selalu bebas berekspresi adalah manhaj sejati sebuah negara demokrasi. Transparansi aktifitas kenegaraan yang bersinggungan langsung dengan rakyat, sangat diharapkan untuk dibuka selebar-lebarnya di hadapan publik. Namun tidak begitu halnya dengan keinginan pemerintah untuk memiliki otoritas penuh menguasai rakyat. Rakyat yang gemar berdemokrasi masih enggan untuk diatur sisi-sisi kemanusiaannya, apalagi jika dirasa tidak terlalu urgen. Pendekatan pemerintah terhadap kesejahteraan rakyat dirasa masih lebih penting dan utama ketimbang menggunakan pendekatan keamanan masyarakat. Hal ini pula yang menjadi titik temu permasalahan krusial di sekian banyak negara berkembang yang menganut demokrasi bernegara. Titik equivalent yang mempertemukan ketidakcocokan antara rakyat dengan pemerintah adalah, rakyat yang gemar menuntut kebebasan dalam setiap sendi kehidupan yang merupakan hasil akhir dari doktrin ideologi “bebas terikat” sebuah Negara demokrasi. Sementara pemerintah hanya sebagai penyelenggara demokrasi yang tidak memiliki otoritas untuk membakukan sebuah aturan yang refresif pada rakyatnya. Adapun keinginan rakyat, harus terpenuhi. Karena suara rakyat adalah suara raja. Begitu yang kita kenal dalam prinsip demokrasi.
Berbicara tentang hukum, UU Ormas yang digadang-gadang tengah digodok rancangan nya ini, ternyata telah melahirkan kecemasan tersendiri di tengah-tengah kebebasan berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Status DPR sebagai pihak penyelenggara demokrasi yang memiliki wewenang dominan dalam membuat UU, terancam kehilangan “sungut” setelah berhasil menimbulkan huru-hara internal antar berbagai lapisan masyarakat dalam menanggapi rancangan UU Ormas yang baru. Kecemasan akan implikasi negatif terhadap perkembangan status “demokrasi” di Indonesia, adalah alibi terkuat dalam gelombang penolakan masyarakat yang masih terjadi sampai saat ini.
Fenomena UU Ormas yang mengundang pro dan kontra sangat menarik untuk ditinjau dari berbagai kacamata yang berbeda. Setiapnya memiliki kepentingan masing-masing, karena tidak dapat dipungkiri setiap badan yang dibentuk oleh masyarakat, masing-masing memiliki fungsi internal yang berujung untuk mengangkat kepentingan(internal profit) terhadap organisasi itu sendiri. Ada semacam daya tarik-menarik keuntungan dalam lintas substansi kepentingan banyak pihak, yang tidak terlepas dari bisnis dan ekonomi yang ujung-ujungnya adalah uang ini. Berkaca pada yang sudah-sudah, tentunya kebebasan berdemokrasi tak akan lengkap tanpa dibumbui kecurangan demi kecurangan di dalamnya. Bahkan tidak menutup kemungkinan jika kelahiran sebuah produk demokrasi (seperti UU), disponsori kucuran dana fiktif, yang akhirnya mengaliri kantong wayang-wayang demokrasi di Indonesia.
Perihal adanya kecemasan oleh (dalam hal ini) pemerintah, terhadap penerapan ulang UU Organisasi Kemasyarakatan UU no 8 tahun 1985 hingga mempertahankan pembahasan UU Ormas, oleh sebagian besar masyarakat dianggap cenderung mengada-ada dan tidak relevan. Karena dengan ataupun tanpa UU Ormas ini, alasan untuk menekan tingkat pengrusakan terhadap fasilitas umum tidak dapat diterima. Kitab Undang-undang hukum pidana (KUHP) sendiri dirasa sudah cukup untuk menjerat pelaku tidak kejahatan yang dianggap menimbulkan permusuhan dan kebencian, tentunya di samping itu perlu juga peningkatan rasio penegak hukum terhadap jumlah dan sebaran masyarakat itu sendiri.
Mulai dari Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) hingga Muhammadiyah pun telah memberikan lampu merah kepada DPR agar segera menghentikan usaha perampasan terhadap kebebasan berkumpul dan membuat badan oleh masyarakat yang mereka tengah rangkum dalam UU ormas ini. Menurut mereka, UU ormas seharusnya sudah dicakup oleh UU Perkumpulan dan UU Yayasan. Bahkan representasi dari beberapa LSM yang bergerak di bidang hukum menginginkan agar UU ini segera dicabut, bukan malah direvisi. Namun DPR seolah tak bergeming. Kemendagri sebagai wakil pemerintah pusat pun ikut-ikutan memberikan support batin kepada DPR dengan melontarkan pertanyaan kepada masyarakat yang kontradiktif , “bagian mana yang ada di dalam pasal yang dianggap tidak relevan dan cenderung refresif?”.
Hal yang paling substansial adalah kelahiran UU ini juga mengandung ambiguisitas dalam pemahaman yang substansial terhadap kemungkinan pembubaran beberapa yayasan atau ormas yang dianggap telah berperan positif pada masyarakat selama ini. Dalam Pasal 18 Ayat (2) Huruf b UU 23/2011 disebutkan bahwa izin yang diberikan untuk membentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ) mengharuskan lembaga amil zakat terdaftar sebagai ormas dan berbentuk badan hukum. Sementara Pasal 11 RUU Ormas, mengkategorikan badan hukum yayasan dan perkumpulan sebagai ormas. Dalam hal ini, Pusat Study Hukum dan Kebijakan Indonesia menilai ketentuan di dalam rancangan Undang-Undang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang ormas, jika sudah menjadi UU sangat berpotensi membekukan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Dengan kata lain, LAZ harus diseret ke ranah politik dengan dibawahi dan diawasi oleh Direktorat Jenderal Kesbangpol Kemendagri. Bukan hanya LAZ, seluruh organisasi masyarakat yang selama ini bergerak di bidang pendidikan sosial (termasuk panti asuhan dan rumah sakit) dengan demikian terancam akan dibekukan sewaktu-waktu.
Perlu diketahui juga bahwa organisasi yang bergerak di bidang sosial sebenarnya hanya dua macam, yaitu Yayasan dan Perkumpulan Berbadan Hukum. Yayasan adalah organisasi tanpa anggota sebagaimana diatur dalam UU Yayasan. Sementara, Perkumpulan merupakan organisasi berdasarkan keanggotaan yang aturannya masih mengacu kepada aturan kolonial Belanda, Stb.1870-64. Dua aturan ini menurut mereka sudah lebih dari cukup untuk mengatur organisasi kemasyarakatan yang berada di Indonesia. Karenanya DPR seharusnya fokus menyelesaikan RUU Perkumpulan dalam rangka mengatur organsisasi yang berbasis keormasan, bukan malah sibuk dengan UU Ormas.
Lahirnya UU ini di zaman Orba, memang sebagai pengatur dan pengawas terhadap kebebasan masyarakat dalam berorganisasi di bawah pemerintahan yang represif. Hingga saat ini, wacana pembentukan UU baru ini pun masih terus mengundang pro dan kontra yang tiada habis oleh pelbagai macam lapisan masyarakat .
Bahkan berkembang nya isu mengenai sistematis penolakan terhadap UU ini tidak saja hadir dan dimotori oleh kalangan agamis. Dari liberal sendiri ternyata menolak mentah-mentah ide “kloningan UU Orba” dalam UU yang baru ini. Benar saja mereka menolak mentah-mentah, karena di dalam salah satu ayat di pasal baru itu tersebut nama beberapa kategori kelompok pemikiran yang termasuk di luar ideologi “Pancasila”. Diantaranya adalah Komunisme, Sekulerisme dan Liberalisme. Jadi tidak perlu heran jika LSM sosial berkedok HAM (baca : liberal), banyak yang menentang secara ekslusif di luar layar. Namun hal ini juga bukan berarti Liberal dan kalangan agamis tengah dijepit di posisi yang sama. Tidak perlu heran juga ketika UU ini menyeret banyak perhatian Muslimin, terutama para aktifis pergerakan Islam. Isu ketidakharmonisan antara pemikiran Islam dengan Pancasila memang sengaja diumbar di pentas media sebagai pancingan yang menarik opini publik. Bahkan sangat masuk akal jika gelombang penolakan besar-besaran dari aktifis Muslimin ini dimanfaatkan oleh pihak yang memang sudah jelas-jelas masuk kategori di luar ideologi “pancasila”. UU Ormas yang lahir di zaman Orba ini memang masih dipenuhi misteri “kepentingan siapakah sebenarnya?”. Kebenaran apa yang tengah dipilih oleh masyarakat, sangat begantung pada opini yang diketengahkan oleh media sebagai perambat.
Di sisi lain, balasan pemerintah terhadap opini negatif yang berkembang atas revisi UU Ormas warisan Orba ini di-counter langsung oleh Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin. Menurutnya pembahasan kembali UU ini adalah untuk mengatur pergerakan LSM asing yang dianggap terlalu bebas mengepakkan sayapnya dalam ranah enterpreneurship di Indonesia. Dengan dbentuknya UU Ormas yang baru ini diharapkan agar bisa menertibkan LSM nakal yang mengeruk keuntungan dalam ranah bisnis di Indonesia ke depannya.
Namun gaung pembelaan ini tidak terlalu berpengaruh terhadap arus kontradiktif yang semakin meruncing. Suara rakyat yang ingin selalu bebas berekspresi adalah manhaj sejati sebuah negara demokrasi. Transparansi aktifitas kenegaraan yang bersinggungan langsung dengan rakyat, sangat diharapkan untuk dibuka selebar-lebarnya di hadapan publik. Namun tidak begitu halnya dengan keinginan pemerintah untuk memiliki otoritas penuh menguasai rakyat. Rakyat yang gemar berdemokrasi masih enggan untuk diatur sisi-sisi kemanusiaannya, apalagi jika dirasa tidak terlalu urgen. Pendekatan pemerintah terhadap kesejahteraan rakyat dirasa masih lebih penting dan utama ketimbang menggunakan pendekatan keamanan masyarakat. Hal ini pula yang menjadi titik temu permasalahan krusial di sekian banyak negara berkembang yang menganut demokrasi bernegara. Titik equivalent yang mempertemukan ketidakcocokan antara rakyat dengan pemerintah adalah, rakyat yang gemar menuntut kebebasan dalam setiap sendi kehidupan yang merupakan hasil akhir dari doktrin ideologi “bebas terikat” sebuah Negara demokrasi. Sementara pemerintah hanya sebagai penyelenggara demokrasi yang tidak memiliki otoritas untuk membakukan sebuah aturan yang refresif pada rakyatnya. Adapun keinginan rakyat, harus terpenuhi. Karena suara rakyat adalah suara raja. Begitu yang kita kenal dalam prinsip demokrasi.
0 komentar:
Posting Komentar