Bicara soal keamanan dan pertahanan Negara, sebelum dibentuknya Densus 88 Indonesia masuk dalam kategori dua Negara Asia yang belum menerapkan standarisasi keamanan internasional, selain Turki. Dengan demikian Indonesia sudah mengukuhkan dirinya sebagai salah satu Negara yang mendukung program GWOT (Globar War On Terrorism) di bawah komando Amerika Serikat dan sekutu.
Inilah dia pasukan pahlawan nasional, Detasemen Khusus 88 (Anti Teror). Densus 88 adalah salah satu dari unit anti teror di Indonesia, di samping Detasemen C Gegana Brimob, Detasemen Penanggulangan Teror (Dengultor) TNI AD alias Grup 5 Anti Teror, Detasemen 81 Kopasus, TNI AD (Kopasus sendiri sebagai pasukan khusus juga memiliki kemampuan antiteror), Detasemen Jalamangkara (Denjaka) Korps Marinir TNI AL, Detasemen Bravo (Denbravo) TNI AU, dan satuan antiteror BIN. Dengan kata lain, Densus 88 adalah pasukan bentukan baru yang bertugas sama dengan unit anti teror lainnya.
Angka 88 berasal dari kata ATA (Anti-Terrorism Act), yang jika dilafalkan dalam bahasa Inggris berbunyi Ei Ti Ekt. Pelafalan ini kedengaran seperti Eighty Eight (88). Namun beredar kabar bahwa 88 adalah representasi dari jumlah korban bom bali terbanyak (88 orang dari Australia), bahkan ada pula yang mengaitkannya dengan representasi dari borgol di angka 88.
Pasukan yang memiliki 400 personel (di luar tim daerah -Polda-) ini, mempunyai sensitifitas tinggi dengan semua kegiatan yang berbau Islam ekstrem. Nyata saja, dalam waktu beberapa tahun setelah dibentuk Densus 88 mampu menghabisi nyawa sipil yang dinilai oleh beberapa “pihak” sebagai teroris. Protokol ekstra judicial killing (pembunuhan tanpa mekanisme pengadilan) dan ekstra judicial action yang dilakukan oleh densus 88 adalah salah satu prosedur yang mesti terjadi dalam proses penangkapan tersangka. Diantara mereka ada Dr. Azhari (tewas di tempat), 19 orang yang dianggap teroris Poso (1 polisi dan 9 warga sipil tewas), Abu Dujana ( tersangka kelompok Jama’ah Islamiyah), tersangka teroris di Temanggung Ibrahim (tewas di tempat), dan Noordin M.Top bersama 3 tersangka lainnya (tewas di tempat) dan beberapa pelaku teroris yang semuanya tewas di tempat pengepungan. Ini belum termasuk korban tidak bersalah (salah tangkap), seperti Sirajuddin (NTB) dan sekian puluh sipil lainnya yang masih di-cover rapat oleh pihak Polri.
Usut punya usut, ternyata pasukan khusus ini dibiayai oleh Amerika Serikat, melalui bagian Jasa Keamanan Diplomatik ( Diplomatic Security Service) Departemen Luar Negeri AS. Mereka dilatih langsung oleh CIA, FBI, U.S Secret Service. Info yang bersumber dari FEER tahun 2003 ini dibantah oleh Kepala Bidang Penerangan Umum Divisi Humas Polri, Kombes Zainuri Lubis dan Kapolri Jenderal Pol Da’i Bachtiar. Sekalipun demikian, terdapat bantuan signifikan dari pemerintah Amerika Serikat dan Australia dalam pembentukan dan operasional Detasemen Khusus 88. Pasca-pembentukan, Densus 88 dilakukan pula kerja sama dengan beberapa negara lain seperti Inggris dan Jerman. Hal ini dilakukan sejalan dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pasal 43. Bahkan dengan diresmikannya UU baru oleh DPR mengenai terorisme Februari yang lalu, maka semakin leluasa lah gerak intens pasukan anti teror ini dalam menangkapi siapa saja yang diduga sebagai teroris.
Namun fakta yang kita terima ternyata tidak selalu beriring dengan informasi dan aturan baku. Mulai dari penilaian kategori teror , langkah apa saja yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengintai kegiatan seseorang, filterisasi tingkat keakuratan informasi, pengkategorian seseorang sampai dianggap sebagai teroris nasional, sampai bentuk pelanggaran HAM apa saja yang telah dilakukan oleh Densus 88 (mulai dari kekerasan hingga kesalahan informasi yang berujung pada kesalahan dalam penangkapan), semua ini tidak pernah disosialisasikan apalagi dipublikasikan ke masyarakat. Aturan tembak mati di tempat jika tersangka melawan, dijadikan sebagai alibi utama. Tentu saja setelah melalui nego-nego klasik nan panjang terlebih dahulu. Semua mata bisa menilai, ketika penangkapan beberapa tokoh teroris Indonesia disiarkan live di beberapa channel televisi. Sistem macam apa yang diterapkan oleh pasukan anti teror yang ternyata telah berhasil melahirkan teror bentuk lain kepada masyarakat ini.
Kegiatan penangkapan yang dianggap tidak manusiawi ini sudah mengarah sebagai sebuah alur tematis yang didikte oleh “pihak X” sebagai jalan menuju kedamaian nasional. Contoh besar saja, peristiwa penangkapan Ustadz Yasin hingga menewaskan Khalid pada November tahun lalu. Seluruh masyarakat Jalan Pulau Sabang Desa Kayamanya Kota Poso yang tengah usai melaksanakan sholat subuh saat itu, menjadi saksi pembantaian yang dilakukan oleh Densus 88. Penangkapan dilakukan tanpa perlawanan sama sekali, bahkan tanpa baku tembak dan pelemparan granat. Berbanding terbalik dengan yang diberitakan oleh beberapa media saat itu. Buntut dari kejadian subuh itu adalah kemarahan warga Poso atas kematian Khalid yang dianggap tidak ada hubungannya dengan terorisme. Sampai pihak keluarga meminta Polres Poso mengembalikan jenazah Khalid ke pihak keluarga untuk dimakamkan dengan normal.
Di sela-sela kegiatan densus 88, kita bisa menilai sendiri seberapa efektifkah pasukan operasi khusus yang dididirikan beberapa tahun setelah kejadian 11/9 ini, tepatnya 26 Agustus 2004. Dengan bermodalkan kekerasan dan mandat ekstra judicial killing dan ekstra judicial action yang selama ini diterapkan oleh densus 88, akhirnya terkuaklah di muka publik dalam beberapa video amatir yang disebarkan secara kontiniu melalui Jejaring video dan sosial . Desakan pembubaran Densus 88 ini bahkan keluar dari Muhammadiyah dan MUI Pusat. Namun Kompolnas menyampaikan bahwa pembubaran densus 88 sama dengan pembubaran Polri (Metro TV, 04 Maret 2013). Beberapa pihak non-Polri bahkan ada yang menghendaki keberadaan lembaga ini secara struktural dan formal sebut saja PBNU yang diwakili oleh petingginya Ketua PBNU, H. Iqbal Sullam dan segelintir anggota dewan (DPR RI). Dengan dalih, bahwa densus 88 tidak perlu dibubarkan tetapi hanya butuh evaluasi kinerja sampai dengan dalih apresiasi bahwa lembaga ini telah melakukan kinerja yang bagus dan perlu eksistensi yang kontinyu untuk menangani ancaman terorisme jangka panjang.
Pasca kedatangan Din Syamsudin bersama MUI beserta ormas-ormas Islam dengan membawa data-data kekejaman dan kekerasan ala densus 88, menyampaikan desakan pembubarannya beberapa hari yang lalu kepada Kapolri Timur Pradopo, sampai saat ini masih dalam proses dan lobi-lobi yang melelahkan. Dijanjikan akan dilakukan cross investigasi ke Poso oleh Komnas HAM bersama perwakilan ormas-ormas Islam. Hasil cross investigasi itu yang nanti menjadi masukan penting kepada Kapolri untuk merekomendasikan eksistensi densus 88, apakah perlu dibubarkan atau tidak. Namun yang pasti , jalan menuju ke sana masihlah teramat panjang, hingga akan ada banyak pihak yang terus menukar dan memperjualbelikan kebenaran dengan isu dan kebohongan yang nyata. Tinggal kita yang mestinya pintar memilah dan memilih, kebenaran jenis apa yang sebenarnya kita inginkan.
Inilah dia pasukan pahlawan nasional, Detasemen Khusus 88 (Anti Teror). Densus 88 adalah salah satu dari unit anti teror di Indonesia, di samping Detasemen C Gegana Brimob, Detasemen Penanggulangan Teror (Dengultor) TNI AD alias Grup 5 Anti Teror, Detasemen 81 Kopasus, TNI AD (Kopasus sendiri sebagai pasukan khusus juga memiliki kemampuan antiteror), Detasemen Jalamangkara (Denjaka) Korps Marinir TNI AL, Detasemen Bravo (Denbravo) TNI AU, dan satuan antiteror BIN. Dengan kata lain, Densus 88 adalah pasukan bentukan baru yang bertugas sama dengan unit anti teror lainnya.
Angka 88 berasal dari kata ATA (Anti-Terrorism Act), yang jika dilafalkan dalam bahasa Inggris berbunyi Ei Ti Ekt. Pelafalan ini kedengaran seperti Eighty Eight (88). Namun beredar kabar bahwa 88 adalah representasi dari jumlah korban bom bali terbanyak (88 orang dari Australia), bahkan ada pula yang mengaitkannya dengan representasi dari borgol di angka 88.
Pasukan yang memiliki 400 personel (di luar tim daerah -Polda-) ini, mempunyai sensitifitas tinggi dengan semua kegiatan yang berbau Islam ekstrem. Nyata saja, dalam waktu beberapa tahun setelah dibentuk Densus 88 mampu menghabisi nyawa sipil yang dinilai oleh beberapa “pihak” sebagai teroris. Protokol ekstra judicial killing (pembunuhan tanpa mekanisme pengadilan) dan ekstra judicial action yang dilakukan oleh densus 88 adalah salah satu prosedur yang mesti terjadi dalam proses penangkapan tersangka. Diantara mereka ada Dr. Azhari (tewas di tempat), 19 orang yang dianggap teroris Poso (1 polisi dan 9 warga sipil tewas), Abu Dujana ( tersangka kelompok Jama’ah Islamiyah), tersangka teroris di Temanggung Ibrahim (tewas di tempat), dan Noordin M.Top bersama 3 tersangka lainnya (tewas di tempat) dan beberapa pelaku teroris yang semuanya tewas di tempat pengepungan. Ini belum termasuk korban tidak bersalah (salah tangkap), seperti Sirajuddin (NTB) dan sekian puluh sipil lainnya yang masih di-cover rapat oleh pihak Polri.
Usut punya usut, ternyata pasukan khusus ini dibiayai oleh Amerika Serikat, melalui bagian Jasa Keamanan Diplomatik ( Diplomatic Security Service) Departemen Luar Negeri AS. Mereka dilatih langsung oleh CIA, FBI, U.S Secret Service. Info yang bersumber dari FEER tahun 2003 ini dibantah oleh Kepala Bidang Penerangan Umum Divisi Humas Polri, Kombes Zainuri Lubis dan Kapolri Jenderal Pol Da’i Bachtiar. Sekalipun demikian, terdapat bantuan signifikan dari pemerintah Amerika Serikat dan Australia dalam pembentukan dan operasional Detasemen Khusus 88. Pasca-pembentukan, Densus 88 dilakukan pula kerja sama dengan beberapa negara lain seperti Inggris dan Jerman. Hal ini dilakukan sejalan dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pasal 43. Bahkan dengan diresmikannya UU baru oleh DPR mengenai terorisme Februari yang lalu, maka semakin leluasa lah gerak intens pasukan anti teror ini dalam menangkapi siapa saja yang diduga sebagai teroris.
Namun fakta yang kita terima ternyata tidak selalu beriring dengan informasi dan aturan baku. Mulai dari penilaian kategori teror , langkah apa saja yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengintai kegiatan seseorang, filterisasi tingkat keakuratan informasi, pengkategorian seseorang sampai dianggap sebagai teroris nasional, sampai bentuk pelanggaran HAM apa saja yang telah dilakukan oleh Densus 88 (mulai dari kekerasan hingga kesalahan informasi yang berujung pada kesalahan dalam penangkapan), semua ini tidak pernah disosialisasikan apalagi dipublikasikan ke masyarakat. Aturan tembak mati di tempat jika tersangka melawan, dijadikan sebagai alibi utama. Tentu saja setelah melalui nego-nego klasik nan panjang terlebih dahulu. Semua mata bisa menilai, ketika penangkapan beberapa tokoh teroris Indonesia disiarkan live di beberapa channel televisi. Sistem macam apa yang diterapkan oleh pasukan anti teror yang ternyata telah berhasil melahirkan teror bentuk lain kepada masyarakat ini.
Kegiatan penangkapan yang dianggap tidak manusiawi ini sudah mengarah sebagai sebuah alur tematis yang didikte oleh “pihak X” sebagai jalan menuju kedamaian nasional. Contoh besar saja, peristiwa penangkapan Ustadz Yasin hingga menewaskan Khalid pada November tahun lalu. Seluruh masyarakat Jalan Pulau Sabang Desa Kayamanya Kota Poso yang tengah usai melaksanakan sholat subuh saat itu, menjadi saksi pembantaian yang dilakukan oleh Densus 88. Penangkapan dilakukan tanpa perlawanan sama sekali, bahkan tanpa baku tembak dan pelemparan granat. Berbanding terbalik dengan yang diberitakan oleh beberapa media saat itu. Buntut dari kejadian subuh itu adalah kemarahan warga Poso atas kematian Khalid yang dianggap tidak ada hubungannya dengan terorisme. Sampai pihak keluarga meminta Polres Poso mengembalikan jenazah Khalid ke pihak keluarga untuk dimakamkan dengan normal.
Di sela-sela kegiatan densus 88, kita bisa menilai sendiri seberapa efektifkah pasukan operasi khusus yang dididirikan beberapa tahun setelah kejadian 11/9 ini, tepatnya 26 Agustus 2004. Dengan bermodalkan kekerasan dan mandat ekstra judicial killing dan ekstra judicial action yang selama ini diterapkan oleh densus 88, akhirnya terkuaklah di muka publik dalam beberapa video amatir yang disebarkan secara kontiniu melalui Jejaring video dan sosial . Desakan pembubaran Densus 88 ini bahkan keluar dari Muhammadiyah dan MUI Pusat. Namun Kompolnas menyampaikan bahwa pembubaran densus 88 sama dengan pembubaran Polri (Metro TV, 04 Maret 2013). Beberapa pihak non-Polri bahkan ada yang menghendaki keberadaan lembaga ini secara struktural dan formal sebut saja PBNU yang diwakili oleh petingginya Ketua PBNU, H. Iqbal Sullam dan segelintir anggota dewan (DPR RI). Dengan dalih, bahwa densus 88 tidak perlu dibubarkan tetapi hanya butuh evaluasi kinerja sampai dengan dalih apresiasi bahwa lembaga ini telah melakukan kinerja yang bagus dan perlu eksistensi yang kontinyu untuk menangani ancaman terorisme jangka panjang.
Pasca kedatangan Din Syamsudin bersama MUI beserta ormas-ormas Islam dengan membawa data-data kekejaman dan kekerasan ala densus 88, menyampaikan desakan pembubarannya beberapa hari yang lalu kepada Kapolri Timur Pradopo, sampai saat ini masih dalam proses dan lobi-lobi yang melelahkan. Dijanjikan akan dilakukan cross investigasi ke Poso oleh Komnas HAM bersama perwakilan ormas-ormas Islam. Hasil cross investigasi itu yang nanti menjadi masukan penting kepada Kapolri untuk merekomendasikan eksistensi densus 88, apakah perlu dibubarkan atau tidak. Namun yang pasti , jalan menuju ke sana masihlah teramat panjang, hingga akan ada banyak pihak yang terus menukar dan memperjualbelikan kebenaran dengan isu dan kebohongan yang nyata. Tinggal kita yang mestinya pintar memilah dan memilih, kebenaran jenis apa yang sebenarnya kita inginkan.
0 komentar:
Posting Komentar