Dalam gelap malam ada sebuah kegelisahan mengoyak kerongkongan hingga relung dada. Membuat nafas tersengal-sengal, susah untuk mencari sela udara, sementara perih hati seperti disayat pisau. Selingkaran keinginan dan ambisi yang ingin diujudkan, mengiringi kepergian satu-persatu kenangan masa lalu. Onggokan kegelisahan itu menepikan segala cita dan harapan. Khayalan ujung dunia mentradisi hingga terbawa mimpi. Parahnya jalan itu terlalu sulit untuk ditempuh, seperti memanggul sekarung beras melintasi sepotong bambu. Cocok tidak cocok, cuma rasa sabarlah yang bisa mengatasinya. kelana mimpi yang membawa harap dan kepingan cita, semoga sampai di ujung jalan. Selamat sampai tujuan.
Sebuah kisah tercipta antara mereka. Sabda alam menakdirkan sebuah pertemuan antara dua orang sahabat. Satu diantara mereka kini sudah mati, mati hati dan mati rasa. Mati yang sebenar-benarnya.
####
Empat tahun yang lalu, ada dua orang sahabat. Mereka selalu bersama di penghujung pekan, menghabiskan waktu libur bersama. bagaikan dua orang bersaudara. Seorang teman pernah berkata, “ mereka saudaraan ya?”. Apakah karena agak mirip, ataukah karena kelihatan dekat, tidak tahu. Di saat itu, si "aktor utama" ini tidak ada teman yang berani mendekatinya. Tak ada teman dekat. Karena pada dasarnya ia adalah seseorang yang tidak terlalu membutuhkan teman. Tidak banyak teman di sekelilingnya, di rumah, maupun sekolah. Karena sejauh yang ia rasakan waktu itu, cukup baginya keluarganya. Dan kasih sayang perhatian mereka sudah lebih dari cukup baginya untuk menjalani kehidupannya. Ia sangat mencintai keluarganya. Walaupun berasal dari keluarga brokenhome yang notabene nya sangat rentan untuk perkembangan anak yang ditinggalkan bapaknya, namun keluarganya sangat hangat. Dia cinta ibunya melebihi siapapun.
Namun mimpi buruk tiba-tiba datang, Tuhan merenggut ibunya. Ibu yang ia cintai kembali ke pangkuan-Nya. Dengan adanya banyak ujian yang ia alami saat itu, ia sangat terpukul dan hatinya rusak. Tidak tahu harus bagaimana menjalani kehidupan lagi. Satu yang ada di benaknya, yaitu meluluskan cita-cita ibunya yang sangat beliau dambakan darinya kelak. Ia ingin wujudkan itu. Ia ingin membuat orang-orang tersenyum bangga padanya, kemudian berkata, “anak siapa itu?”. Azzam inilah yang membuat ia masih mampu bertahan.
Setelah sekian lamanya masa-masa berat yang dilaluinya sendirian, ia mulai terbiasa. Kemanapun ia sendirian, jalan sendiri, makan sendiri, tidak ada kesedihan waktu itu. Ia senang dengan kesendiriannya. Walau terkadang merasa bosan dan jenuh dengan keadaannya yang sama sekali berbeda sewaktu berada di sisi keluarganya dahulu. Ia menjadi anak yang bebas dan terkadang berlebihan dalam menjalani hidup. Ia kerap menghabiskan waktu untuk menghibur diri yang lara. Dukanya ia pendam sendirian. Dalam benaknya barangkali ia berfikir "Biarlah hanya aku yang menahan sakitnya ditinggal orang yang kucintai. Karena cintaku terlalu dalam untuk ia yang meninggalkanku".
Betapa saat-saat kosong itu seorang sahabat hadir memeluk hari-harinya. Sahabatnya itu nampak ikhlas datang dan pergi ke asrama yang ia huni. Ia nampak tulus datang setiap minggu membawakan sejuta canda tawa di atas kekosongan jiwa temannya. Pergi bersama membeli buku, mencari sesuatu, ataupun sekedar jalan-jalan bersama di akhir minggu yang melelahkan setelah seminggu beraktifitas di perkuliahan. Ia sangat menikmati hal ini, karena memang baru sekarang ia mengetahui betapa indahnya memiliki seorang sahabat yang bisa diandalkan. Di kala susah, ia datang dengan senyuman ringannya. Dia adalah seorang yang dianggap sebagai teman karibnya, bahkan ia menganggapnya sebagai saudaranya sendiri. Apa yang ia punya, ia bisa pakai, pinjam, bahkan ia akan memberikan apapun untuk sahabatnya.
Hubungan itu kemudian menjadi rusak setelah beberapa tahun kemudian, merekai pindah universitas. Tiba-tiba sahabatnya berubah, sama sekali berbeda. Tidak ada lagi kunjungan penghibur yang biasanya datang. Ia lebih memilih bersahabat dengan orang lain. Sahabatnya menjauh. Perubahan sahabatnya membuatnya menguras pikiran. Ketika melihat dia begitu jauh, dia sangat tertekan. Dia tidak tahu apa kesalahannya. Padahal ia membutuhkan seorang sahabat di saat dirinya berada dalam kesulitan, namun ia tidak datang. Bahkan di kala sakit, sahabatnya menjauh begitu jauhnya. Di kala itu, ia harus berjuang sendirian bertahan melawan penyakitnya. Hingga tiba-tiba timbul kebencian. Perlahan namun pasti, ia sangat membencinya hingga ke tulang rusuknya. Namun di sisi lain ia juga sangat mengharapkan kehadirannya. Karena ia membutuhkan seorang sahabat dalam perjuangannya, seorang sahabat yang setia menemani. Dia tidak mengerti apakah yang telah terjadi. Waktu yang membentuknya menjadi demikian. Waktu yang membuat nya dekat dengan sahabatnya. Waktu pula yang menjauhkan mereka. Banyak kenangan indah yang harus segera ia lupakan ketika melihat masa lalu. Namun semuanya tinggal kenangan yang akan hilang seiring berjalannya waktu pula.
Saat ini, dia sudah sadar. Dia menyadari posisinya. Dia berdamai dengan takdir. Dia sadar, kalau dia ada Allah. Dia punya keluarga, walaupun tidak utuh seperti dahulu. Dia putuskan dia lah yang akan mengalah. Menurutnya, jalan terbaik saat ini adalah mencoba mencari setitik kasih sayang di setiap sudut Rumah-Nya. Dia yang akan mencarinya sendirian. Tanpa teman, maupun sesiapa. Karena dia sudah puas dengan semua yang ia alami. Kekecewaannya teramat dalam. Luka yang ia rasakan mencukam. Kerana sekali ia mencintai, saat itu pula ia akan seutuhnya mencintai tanpa sedikit kekurangan. Dan ia sadar bahwa satu-satunya yang pantas untuk ia cintai, hanyalah Allah SWT.
###
Sapaan takdir kerap kali memukul balik mimpi
menjatuhkan harapan yang telah lama terbangun
seperti kupasan kulit mangga
yang akan terbuang pada akhirnya.
Kelemahan mu adalah kekuatanmu
bangkitlah dari keterpurukan hati dan pikiran
lanjutkan kehidupan
teruslah berjuang kawanku
walau tiada sesiapa yang menemani
0 komentar:
Posting Komentar