Siang ini Alhamdulillah Allah masih memberikan rezeki yang cukup untukku. Beasiswa kembali turun untuk bulan Maret. Didahulukan ke bulan Februari kerna memang tgl 27 diadakan rapat umum dengan seluruh penerima beasiswa dengan tema besar memecahkan permasalahan dan hambatan yang dialami oleh mahasiswa dan siswa penerima beasiswa. Saya sengaja tidak mengambil beasiswa hari itu, bayangkan saja ratusan mahasiswa berjubel dalam satu ruangan. Saya putuskan besoknya untuk mengambilnya.
Seperti biasa dari Darrasah berangkat dengan tramko kecil menuju Ubro, dan kemudian naik metro bawah tanah. Sesampai di Tahrir mesti memutar jalan karena jalan biasa sudah ditutup dengan tembok , katanya untuk mengantisipasi para pendemo yang akhir-akhir ini masih sering bersuara.
Pulang dari sana, ada rencana membeli kebutuhan harian seperti susu, telur, gula, dan keperluan lainnya. Rasanya sudah lama saya tidak membeli susu bubuk instan, biasanya hanya beli susu cair siap minum. Kali ini entah kenapa saya berputar balik jalan dari menuju pulang, hanya sekedar mencari susu bubuk instan.
Azan Ashar pun berkumandang. Imam nya terlalu cepat (baca : sayanya terlalu lelet.red) dan lagi-lagi saya harus menjadi masbuq. Seusai sholat, terdengar rintihan tangis seekor kucing yang suaranya sudah serak-serak basah karena terlalu sering berteriak barangkali.
Seorang bapak jamaah masjid yang sering saya lihat memakai celana levis, ternyata tengah memegang anak kucing. Ia terlihat kebingungan dan dilema, sepertinya ingin mengambil kucing itu dan membawanya pulang. Dari sekian banyak orang Mesir, bapak itu diantara orang yang langka karena menyukai kucing. Selain dia ada juga seorang kakek jamaah masjid yang sering memberi makan kucing seusai sholat. Kalau melihat orang Mesir yang sayang dengan kucing, saya jadi ingat sosok Abu Hurairah. Periwayat terbanyak yang pernah meriwayatkan Hadits Rasulullah saw. Beliau sangat mencintai kucing hingga digelari Abu Hurairah (bapak kucing). Begitu spesialnya orang Mesir yang mencintai kucing, hingga sangat jarang ditemui kucing yang mau dipegang oleh manusia, karena ia takut dianiya oleh manusia di Mesir ini.
Bulu kucing itu yang tengah dipegang bapak itu hitam putih. Dalam hati saya merasa kasihan, saya ingin memungut kucing itu. Karena sudah beberapa kali saya menyia-nyiakan kesempatan untuk menyelamatkan makhluk Allah yang bernama kucing. Dahulu saya pernah melihat anak kucing yang terlindas kepalanya oleh motor sekuter hingga berdarah-darah sampai ia menghembuskan nafas terakhirnya, sementara saya ada di tempat kejadian dan melihat kejadian itu tanpa menolong sang kucing. Aduhai, bila saya bisa dengan cekatan mengambil anak kucing yang sangat kecil itu hingga ia tidak jadi tertabrak, pastilah akan lain kejadiannya. Ataupun saya bisa menolong menguburkan mayat si kucing malang itu, tentunya tidak aka nada penyesalan seperti ini.
Dahulu juga pernah saya menyaksikan secara langsung bagimana bayi kucing yang baru lahir dilempar batu sebesar tinju orang dewasa, hingga orok bayi itu menggeliat kesakitan, terlihat darah di sekitar kepalanya dan kemudian mati. Aduhai jika saya bisa selamatkan bayi mungil tak berdosa itu sebelum tangan si bocah nakal melemparnya dengan batu, tentu ia akan masih hidup sampai sekarang. Padahal sebelumnya saya sudah memindahkan orok itu ke tempat yang aman, tangan bocah Mesir itu lebih cekatan dibanding tangan saya, hingga kucing kecil itu jadi korban kekejaman si bocah.
Dan masih ada beberapa kejadian memilukan batin yang terjadi di depan mata saya. Hingga sampai sekarang memori ini masih menyimpan kenangan pahit tersebut.
Karena kucing kecil itu masih terlihat segar bugar, dalam pikiran saya terlintas untuk tidak memungut kucing, karena bakalan akan menyusahkan. Bukan masalah makan atau minum, tapi “poop”-nya kan sembarangan. Bisa-bisa bau satu flat, kalau dia poop sembarangan. Dan akhirnya saya putuskan untuk tidak menghiraukan anak kucing itu.
Sesaat setelah saya keluar dari masjid saya dapati anak kucing tadi berlari di tengah jalan dengan mengeong keras sementara ada sebuah mobil tramko sekitar 30cm saja tepat di depannya tengah berjalan. Spontan tangan saya menyetop mobil itu dan langsung memungut anak kucing berbulu hitam putih tersebut. Saya singkirkan kucing itu ke pinggir jalan, namun hati saya berkata lain. “Ambillah kucing itu, kalaupun dia selamat sekarang, belum tentu nanti dia akan selamat. Kalau tidak tertabrak pasti nanti ia akan dianiya oleh orang Mesir. Kamu tahu sendiri bagaimana kelakuan orang Mesir terhadap kucing”.
Pikiran saya dikalahkan oleh suara batin, dan akhirnya kucing itu saya pungut. Kubawa ke flat dan kuberi ia minum susu yang tadi baru dibeli. Kuseka wajahnya yang penuh dengan belek dengan kain basah. Kemudian ia terlelap saat ini, sudah lebih dari 4 jam ia tertidur di atas kasurnya yang kubuat dari kardus beralaskan celana bekas. Barangkali sudah bermalam-malam ia tidak tidur karena mencari keluarga yang meninggalkannya.
***
Sungguh kucing yang malang, hasil hamil duluan sang Ibu kucing yang hilang entah kemana. Saya jadi ingat dengan kisah puluhan atau ratusan bahkan mungkin ribuan bayi manusia yang dibuang di Negeriku Indonesia. Mulai dari membuangnya di tong sampah, di depan panti asuhan, di dalam masjid, di hutan, hingga membunuh bayi yang ada di dalam perut dengan menggugurkannya dengan sukarela. Memikirkan itu semua aku berkata pada kucing yang kupungut ini,
“kau ini lebih beruntung kucing, karena aku pungut dan ku beri kau kasih sayang. Sementara ada sekian banyak bayi manusia yang dibuang begitu saja di negeriku, Indonesia. Tidak ada yang mau memungut, bahkan melihatnya saja mereka berkata “ih… anak haram! Hasil hamil duluan tuh! ”.
Potret analogi antara “bayi kucing” di Mesir dan “bayi manusia” di Indonesia.
Seperti biasa dari Darrasah berangkat dengan tramko kecil menuju Ubro, dan kemudian naik metro bawah tanah. Sesampai di Tahrir mesti memutar jalan karena jalan biasa sudah ditutup dengan tembok , katanya untuk mengantisipasi para pendemo yang akhir-akhir ini masih sering bersuara.
Pulang dari sana, ada rencana membeli kebutuhan harian seperti susu, telur, gula, dan keperluan lainnya. Rasanya sudah lama saya tidak membeli susu bubuk instan, biasanya hanya beli susu cair siap minum. Kali ini entah kenapa saya berputar balik jalan dari menuju pulang, hanya sekedar mencari susu bubuk instan.
Azan Ashar pun berkumandang. Imam nya terlalu cepat (baca : sayanya terlalu lelet.red) dan lagi-lagi saya harus menjadi masbuq. Seusai sholat, terdengar rintihan tangis seekor kucing yang suaranya sudah serak-serak basah karena terlalu sering berteriak barangkali.
Seorang bapak jamaah masjid yang sering saya lihat memakai celana levis, ternyata tengah memegang anak kucing. Ia terlihat kebingungan dan dilema, sepertinya ingin mengambil kucing itu dan membawanya pulang. Dari sekian banyak orang Mesir, bapak itu diantara orang yang langka karena menyukai kucing. Selain dia ada juga seorang kakek jamaah masjid yang sering memberi makan kucing seusai sholat. Kalau melihat orang Mesir yang sayang dengan kucing, saya jadi ingat sosok Abu Hurairah. Periwayat terbanyak yang pernah meriwayatkan Hadits Rasulullah saw. Beliau sangat mencintai kucing hingga digelari Abu Hurairah (bapak kucing). Begitu spesialnya orang Mesir yang mencintai kucing, hingga sangat jarang ditemui kucing yang mau dipegang oleh manusia, karena ia takut dianiya oleh manusia di Mesir ini.
Bulu kucing itu yang tengah dipegang bapak itu hitam putih. Dalam hati saya merasa kasihan, saya ingin memungut kucing itu. Karena sudah beberapa kali saya menyia-nyiakan kesempatan untuk menyelamatkan makhluk Allah yang bernama kucing. Dahulu saya pernah melihat anak kucing yang terlindas kepalanya oleh motor sekuter hingga berdarah-darah sampai ia menghembuskan nafas terakhirnya, sementara saya ada di tempat kejadian dan melihat kejadian itu tanpa menolong sang kucing. Aduhai, bila saya bisa dengan cekatan mengambil anak kucing yang sangat kecil itu hingga ia tidak jadi tertabrak, pastilah akan lain kejadiannya. Ataupun saya bisa menolong menguburkan mayat si kucing malang itu, tentunya tidak aka nada penyesalan seperti ini.
Dahulu juga pernah saya menyaksikan secara langsung bagimana bayi kucing yang baru lahir dilempar batu sebesar tinju orang dewasa, hingga orok bayi itu menggeliat kesakitan, terlihat darah di sekitar kepalanya dan kemudian mati. Aduhai jika saya bisa selamatkan bayi mungil tak berdosa itu sebelum tangan si bocah nakal melemparnya dengan batu, tentu ia akan masih hidup sampai sekarang. Padahal sebelumnya saya sudah memindahkan orok itu ke tempat yang aman, tangan bocah Mesir itu lebih cekatan dibanding tangan saya, hingga kucing kecil itu jadi korban kekejaman si bocah.
Dan masih ada beberapa kejadian memilukan batin yang terjadi di depan mata saya. Hingga sampai sekarang memori ini masih menyimpan kenangan pahit tersebut.
Karena kucing kecil itu masih terlihat segar bugar, dalam pikiran saya terlintas untuk tidak memungut kucing, karena bakalan akan menyusahkan. Bukan masalah makan atau minum, tapi “poop”-nya kan sembarangan. Bisa-bisa bau satu flat, kalau dia poop sembarangan. Dan akhirnya saya putuskan untuk tidak menghiraukan anak kucing itu.
Sesaat setelah saya keluar dari masjid saya dapati anak kucing tadi berlari di tengah jalan dengan mengeong keras sementara ada sebuah mobil tramko sekitar 30cm saja tepat di depannya tengah berjalan. Spontan tangan saya menyetop mobil itu dan langsung memungut anak kucing berbulu hitam putih tersebut. Saya singkirkan kucing itu ke pinggir jalan, namun hati saya berkata lain. “Ambillah kucing itu, kalaupun dia selamat sekarang, belum tentu nanti dia akan selamat. Kalau tidak tertabrak pasti nanti ia akan dianiya oleh orang Mesir. Kamu tahu sendiri bagaimana kelakuan orang Mesir terhadap kucing”.
Pikiran saya dikalahkan oleh suara batin, dan akhirnya kucing itu saya pungut. Kubawa ke flat dan kuberi ia minum susu yang tadi baru dibeli. Kuseka wajahnya yang penuh dengan belek dengan kain basah. Kemudian ia terlelap saat ini, sudah lebih dari 4 jam ia tertidur di atas kasurnya yang kubuat dari kardus beralaskan celana bekas. Barangkali sudah bermalam-malam ia tidak tidur karena mencari keluarga yang meninggalkannya.
***
Sungguh kucing yang malang, hasil hamil duluan sang Ibu kucing yang hilang entah kemana. Saya jadi ingat dengan kisah puluhan atau ratusan bahkan mungkin ribuan bayi manusia yang dibuang di Negeriku Indonesia. Mulai dari membuangnya di tong sampah, di depan panti asuhan, di dalam masjid, di hutan, hingga membunuh bayi yang ada di dalam perut dengan menggugurkannya dengan sukarela. Memikirkan itu semua aku berkata pada kucing yang kupungut ini,
“kau ini lebih beruntung kucing, karena aku pungut dan ku beri kau kasih sayang. Sementara ada sekian banyak bayi manusia yang dibuang begitu saja di negeriku, Indonesia. Tidak ada yang mau memungut, bahkan melihatnya saja mereka berkata “ih… anak haram! Hasil hamil duluan tuh! ”.
Potret analogi antara “bayi kucing” di Mesir dan “bayi manusia” di Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar